Sampai rumah waktu asar sudah jadi rutinitas sehari-hari.
Langsung bersih bersih diri and pray.. setelah itu leyeh-leyeh sambil nunggu
suami pulang. Jadi satpam anak mandi sore dan beberes rumah. Kadang kasih
makan ikan, atau sekedar membuat cemilan sambil menyiangi bahan makanan tuk dimasak pagi hari. Halaman yang dulu kala penuh dengan tanaman, baik toga maupun
sayur mayur untuk menambah gizi keluargapun sekarang hanya terlihat
polybagnya saja. Sudah tidak ada kesempatan untuk menyalurkan hobby bermain
tanah bareng anak-anak. Kegiatan yasinan tiap Kamispun lolos, pengajian Al-Quran juga
lewat. Belum lagi waktu menjalin kelekatan dan kehangatan keluarga otomatis sangat kurang. Hadeeeeeh.. coba ya, jika peraturan tentang jam kerja perempuan Indonesia dikurangi benar-benar
terbit, wow terima kasih sekali. Saya masih cukup waktu untuk sekedar
beristirahat, sambil bercengkrama di rumah bersama anak-anak dan kembali
menjalankan tugas esok hari dengan penuh semangat. Keluarga senang, hatipun riang.
Saya masih
bersyukur. Coba lihat si adiik...betapa repotnya, musti meninggalkan 2
balita. Pulang sore malah kadang bawa pekerjaan ke rumah..wiyata bakti
lagi..duuuuh miris membayangkannya. Ya pantes jika kurus kering begitu. Dini
hari bangun awal, musti menyiapkan perlengkapan anak selama ditinggal seperti makanan,
susu, popok. Musti beres-beres rumah, melayani suami. Belum lagi jika ada undangan untuk mengikuti kegiatan
kemasyarakatan serta ditambah seabreg kegiatan administrasi guru. Capekah?
kelihatannya seperti itu. Bagaimana para balitanya merasa terpuaskan bertemu ibunya dalam kondisi seperti itu??
Ada lagi tetangga yang harus bekerja
membantu suami mencari tambahan
penghasilan, menjadi buruh. Pulang dalam keadaan penat. Sudah Anak banyak, pada
merengek minta jajan, melihat mereka masih kotor belum ada yang mandi, apalagi
jika ada yang sakit, tanpa jaminan lagi aiiiih..kalau diruntut bahwa pendidikan
apapun dimulai dari keluarga , lalu kami
para perempuan harus bagaimana? Jika untuk memikirkan ekonomi saja sudah buat
kelimpungan?
Setiap perempuan yang bekerja pasti membutuhkan kedisiplinan, komitmen dan loyalitas, akan
tetapi jika suatu saat harus dihadapkan dengan kewajiban primer sebagai ibu,
istri, anak, sebagai contoh, anak sakit, atau yang lainnya, maka perempuan pasti akan memilih tugas
utamanya, dengan mempertimbangkan logika dan perasaaan tentu saja. Bukankah
benar sekali apa yang dikatakan Pak Jusuf
Kalla bahwa ada peran ibu yang tidak dapat tergantikan oleh kemajuan teknologi yakni
sentuhan seorang ibu terhadap anak? Siapa yang berani menyangkal hal tersebut???
Sebuah keinginan untuk menjalankan seluruh tugas dengan seimbang,
selaras dan tuntas. Walau sesekali dihadapkan pada dilema. Toh semuanya tetap berjalan,
seiring dengan berputarnya waktu. Jadi jika ada polling mengenai jam kerja
perempuan Indonesia dikurangi, tanpa keraguan saya urun suara, SETUJU !!! Hidup
pak Jusuf Kalla !! Hidup Indonesia-ku!!!
Menurut saya, terbitnya peraturan baru akan
membawa dampak bagus terutama bagi tumbuh kembang putra dan putri bangsa. Kami para
ibu dapat mengawasi tontonan, pergaulan bahkan yang sedang aktual dapat
meminimalisir penyakit “Gadget Syndrom” yang sedang melanda anak negeri
ditambah dengan penyakit kurang kasih sayang, membuat mereka lebih lihai
berinteraksi di dunia maya ketimbang berinteraksi sosial secara ’live”. Anak-anak
lebih memilih menyendiri dari pada berbaur, yang lambat laun akan mengikis kepedulian
antar sesama. Belum lagi jebakan-jebakan materialisme. Sebuah bentuk penjajahan
terselubung bukan? Jika bukan seorang
ibu yang berusaha membentengi lalu siapa lagi? Semoga hal-hal seperti ini dapat
dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan, amiiiin....