Senin, 24 November 2014

Sekelumit Kisah Dari Balik Implementasi Kurma 13



Kurikulum Madrasah 2013 yang sekarang lebih populer dengan sebutan Kurma 13 memang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh  pendidik tentunya. Pada Madrasah Ibtidaiyah sasaran implementasi tahun pertama adalah kelas I dan IV. Guru kelas I dan IV sebagai ujung tombak implementasi  secara otomatis menjadi agent of change di tiap-tiap satuan pendidikannya. Berbagai seminar, workshop dan bintek telah diadakan untuk membuat kami “layak “ masuk kancah Kurma 13 ini. Tidak sebatas jargon ‘ apapun makanannya, minumnya tetap teh botol sosro”. Semangat kami untuk menerapkan Kurikulum 13 ini bukannya tanpa halangan.  Wacana , rumor bahkan kondisi  yang berkembang dan terjadipun  kadang membuat kami sedikit  tertahan untuk bergerak. 

Pada realitanya hal ini tetap kami terima, tetap kami jalankan. Dengan segala kemampuan  dan keterbatasan yang kami miliki. Semua hal yang dapat kami serap, baik yang berkaitan dengan cara mengajar, mendidik, membimbing, mengevaluasipun kami terapkan sesuai “pesanan”. Mudahkah? Jawabannya tidak. Kenyataannya  lebih banyak membutuhkan power. Sehingga sangat wajar jika CD kurma 13 laris manis bak kacang goreng karena banyak yang memilih tinggal leeb, lalu yang memilih untuk berjibaku bagaimana? Misalnya untuk menuangkan scenario dalam bentuk RPP Tematik Kurma 13 plus form penilaian dan kroon-kroninya saja saya membutuhkan waktu 3 jam. Untuk bagian materi, langkah- langkah pembelajaran dan penilaian ternyata tak semudah yang saya pikir. Hal ini menjadikan “ si lephy” terus terjaga . Pagi dipakai sebagai alat pembelajaran ( fotokopi hanya yang penting penting saja selebihnya ditayangkan , menghindari pengeluaran anggaran bos membludak karena pesanan buku belum sampai). Setelah anak pulang baru mulai membuka buku guru dan siswa edisi esok hari sambil merancang bahan bahan. Waktu terasa sangat cepat karena tahu tahu sudah jam pulang. Si lephipun terpaksa hanya  disleep untuk menegaskan bahwa ada PR yang harus dikerjakan.  
     
Sampai rumah ada rutinitas fardhu ‘ain ( anak, suami, keluarga yang menunggu untuk dilayani )sebagai tugas utama. Malam ketika rasa penat berteriak pada tubuh meminta haknya untuk ditunaikan, terhalang oleh PR yang memaksa untuk dikerjakan. Alhasil protes yang dituai. Dalam keadaan seperti  itupun  tetap saja membuka si lephi, membuat jari jemari menari dalam galau yang semakin hari semakin membuncah. “Tak kenal maka tak sayang” kalimat ampuh yang menjadi  modal untuk mempelajari dan menerapkannya ternyata belumlah cukup. Harus ada metode dan strategi efektif agar saya merasa nyaman dalam menjalani tugas mulia ini. Pertanyaannya, strategi apakah yang harus saya terapkan agar semua merasa nyaman? Semua kewajiban dilaksanakan , dan semua hak dapat ditunaikan? Kalaupun tidak seimbang antara hak dan kewajiban minimal tidak ada pihak yang merasa didholimi secara berlebihan.  Hemmmmm……lahaulawalaquwwataillabillah. ( adakah kalimah lain yang lebih bagus dari ini?) Selalu ada solusikan friends????