Kurikulum
Madrasah 2013 yang sekarang lebih populer dengan sebutan Kurma 13 memang berbeda
dengan kurikulum sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh pendidik tentunya. Pada Madrasah Ibtidaiyah
sasaran implementasi tahun pertama adalah kelas I dan IV. Guru kelas I dan IV sebagai
ujung tombak implementasi secara
otomatis menjadi agent of change di tiap-tiap satuan pendidikannya. Berbagai
seminar, workshop dan bintek telah diadakan untuk membuat kami “layak “ masuk
kancah Kurma 13 ini. Tidak sebatas jargon ‘ apapun makanannya, minumnya tetap
teh botol sosro”. Semangat kami untuk menerapkan Kurikulum 13 ini bukannya
tanpa halangan. Wacana , rumor bahkan
kondisi yang berkembang dan
terjadipun kadang membuat kami
sedikit tertahan untuk bergerak.
Pada
realitanya hal ini tetap kami terima, tetap kami jalankan. Dengan segala
kemampuan dan keterbatasan yang kami
miliki. Semua hal yang dapat kami serap, baik yang berkaitan dengan cara
mengajar, mendidik, membimbing, mengevaluasipun kami terapkan sesuai “pesanan”.
Mudahkah? Jawabannya tidak. Kenyataannya
lebih banyak membutuhkan power. Sehingga sangat wajar jika CD kurma 13
laris manis bak kacang goreng karena banyak yang memilih tinggal leeb, lalu
yang memilih untuk berjibaku bagaimana? Misalnya untuk menuangkan scenario
dalam bentuk RPP Tematik Kurma 13
plus form penilaian dan kroon-kroninya saja saya membutuhkan waktu 3 jam. Untuk bagian
materi, langkah- langkah pembelajaran dan penilaian ternyata tak semudah yang
saya pikir. Hal ini menjadikan “ si lephy” terus terjaga . Pagi dipakai sebagai
alat pembelajaran ( fotokopi hanya yang penting penting saja selebihnya
ditayangkan , menghindari pengeluaran anggaran bos membludak karena pesanan buku
belum sampai). Setelah anak pulang baru mulai membuka buku guru dan siswa edisi
esok hari sambil merancang bahan bahan. Waktu terasa sangat cepat karena tahu
tahu sudah jam pulang. Si lephipun terpaksa hanya disleep untuk menegaskan bahwa ada PR yang
harus dikerjakan.
Sampai
rumah ada rutinitas fardhu ‘ain ( anak, suami, keluarga yang menunggu untuk
dilayani )sebagai tugas utama. Malam ketika rasa penat berteriak pada tubuh
meminta haknya untuk ditunaikan, terhalang oleh PR yang memaksa untuk
dikerjakan. Alhasil protes yang dituai. Dalam keadaan seperti itupun
tetap saja membuka si lephi, membuat jari jemari menari dalam galau yang
semakin hari semakin membuncah. “Tak kenal maka tak sayang” kalimat ampuh yang
menjadi modal untuk mempelajari dan
menerapkannya ternyata belumlah cukup. Harus ada metode dan strategi efektif
agar saya merasa nyaman dalam menjalani tugas mulia ini. Pertanyaannya,
strategi apakah yang harus saya terapkan agar semua merasa nyaman? Semua
kewajiban dilaksanakan , dan semua hak dapat ditunaikan? Kalaupun tidak
seimbang antara hak dan kewajiban minimal tidak ada pihak yang merasa didholimi
secara berlebihan. Hemmmmm……lahaulawalaquwwataillabillah. (
adakah kalimah lain yang lebih bagus dari ini?) Selalu ada solusikan
friends????