“Maaf ke poli
saja..gak ada kamar !!! Bak disambar gledeg ketika suara itu berasal dari
seorang dokter wanita. Pukul sebelas kurang lebih saat aku mengantar bapak ke
sebuah RS. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.Tensi darah 235, kaki kiri
dan tangan sudah lemes dan berat. Jalan saja harus dipapah 2 orang, diagnosa
sementara gejala sroke, harus cepet ditindak. Masuk IGD diportal seperti itu.”Bu,tensi bapak saya 235, kaki sudah berat dan susah digerakkan”, kataku. ”Makanya ke poli
!!.Ke poli ? jam 11 disuruh antri dengan kondisi seperti itu? terlalu beresiko.Tanpa
buang waktu kubawa bapak pindah Rumah Sakit. Apa yang ada dipikiran Dokter
wanita itu pastilah bukan hal yang positif.Tentu saja begitu karena dia tidak
bersedia walau sekedar memeriksa saja, malah pasien yang berseragam yang datang
sesudah bapak dengan gejala sama diterima masuk IGD. DI-TE-RI-MA dan
.Di-TIN-DAK. Itu prasangkaku prasangkaku…Duh gusti…..Engkau Maha Tahu apa yang
ada dibenakku waktu itu. Kemarahan, kegalauan, kututup rapat-rapat mulutku. Kukuatkan
diriku untuk tidak meneteskan airmata. Kubuang pikiran negatif yang datang bertubi-tubi. Sepanjang
perjalanan kutegaskan pada diriku tidak apa apa, tidak apa apa, semua baik baik
saja, semua baik baik saja. Aku telpon ke pihak RS yang dituju pesan kamar untuk
memastikan tidak terulang hal serupa.
Prasangka….kadang
membantu pada saat genting. Tapi prasangka juga sering membuat suasana bertambah
genting. Kalimat yang tercetus dari dokter wanita dengan muka masam mungkin juga
dipengaruhi prasangka negative.Yang membuat aku berprasangka negative
juga(setelah tahu pasien dibelakang bapak yang pakai seragam dinas, diterima
masuk). Kalo toh bener kamar penuh, beliau bisa dengan senyum dan mengatakan
dengan bahasa yang tidak menggores hatiku. Tapi nasi telah menjadi bubur. Bagaimana
aku bisa menjadikan bubur itu enak untuk
aku nikmati itulah yang coba aku lakukan. Agar aku nyaman dan gak badmood.
Kata
Allah, jauhilah prasangka karena sebagian prasangka itu dosa. Berarti preasangka
ada dua bagian, bisa baik bisa buruk. Tentunya yang harus dijauhi adalah
prasangka buruk ini. Gimana gak dosa jika karena prasangka,kita jadi
menghakimi, menghukumi bahkan mendholimi orang.Tuh kan bahaya banget. Prasangka
negative bisa merujuk ke fitnah dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan.Coba
jika kita tidak mencoba mengusir “penyakit” ini. Hitung saja,berapa orang yang akan
sakit perasaannya oleh kita. Berapa orang yang akan menangis karena ulah
kita. Berapa orang yang akan dirugikan, berapa lama kita akan menanggung “sakit
pikiran” jika kita tak berusaha mencari “obat”. Betapa sering kita memberi nilai
seseorang hanya berdasarkan sudut pandang indra yang sempit dan waktu yang
terbatas. Betapa sering kita melabeli sesuatu hanya dari tafsiran selintas.Jika
aku tidak segera memutar komedi prasangka, bisa saja aku melabeli bahwa RS tempa
dokter itu mempunyai pelayanan yang buruk. Padahal dokter yang lainya tidak
seperti itu.
Aku menyadari, betapa
ilustrasi diatas sangat dekat dengan keseharian kita. Prasangka yang bermain
dalam pikiran kita sering menjadi masalah jika mengarah pada hal hal yang
negative. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan interaksi, ini bisa jadi bumerang
bagi diri sendiri mulai dari hilangnya kedekatan dengan teman, hilangnya peluang
dan kesempatan, membuat suatu komunitas menjadi kurang harmonis atau mungkin
hal lainya yang sangat penting. Prasangka hidup di alam pikiran kita. Kitalah
yang seharusnya menjadi “bos”untuk pikiran kita sendiri. Nah pertanyaannya..Sudahkah
kita berusaha menjadi bos untuk pikiran kita ?