Rabu, 27 Maret 2013

Bahaya Prasangka Negatif



“Maaf ke poli saja..gak ada kamar !!! Bak disambar gledeg ketika suara itu berasal dari seorang dokter wanita. Pukul sebelas kurang lebih saat aku mengantar bapak ke sebuah RS. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.Tensi darah 235, kaki kiri dan tangan sudah lemes dan berat. Jalan saja harus dipapah 2 orang, diagnosa sementara gejala sroke, harus cepet ditindak. Masuk IGD diportal seperti itu.”Bu,tensi bapak saya 235, kaki sudah berat dan susah digerakkan”, kataku. ”Makanya ke poli !!.Ke poli ? jam 11 disuruh antri dengan kondisi seperti itu? terlalu beresiko.Tanpa buang waktu kubawa bapak pindah Rumah Sakit. Apa yang ada dipikiran Dokter wanita itu pastilah bukan hal yang positif.Tentu saja begitu karena dia tidak bersedia walau sekedar memeriksa saja, malah pasien yang berseragam yang datang sesudah bapak dengan gejala sama diterima masuk IGD. DI-TE-RI-MA dan .Di-TIN-DAK.  Itu prasangkaku prasangkaku…Duh gusti…..Engkau Maha Tahu apa yang ada dibenakku waktu itu. Kemarahan, kegalauan, kututup rapat-rapat mulutku. Kukuatkan diriku untuk tidak meneteskan airmata. Kubuang pikiran negatif yang datang bertubi-tubi. Sepanjang perjalanan kutegaskan pada diriku tidak apa apa, tidak apa apa, semua baik baik saja, semua baik baik saja. Aku telpon ke pihak RS yang dituju pesan kamar untuk memastikan tidak terulang hal serupa.

Prasangka….kadang membantu pada saat genting. Tapi prasangka juga sering membuat suasana bertambah genting. Kalimat yang tercetus dari dokter wanita dengan muka masam mungkin juga dipengaruhi prasangka negative.Yang membuat aku berprasangka negative juga(setelah tahu pasien dibelakang bapak yang pakai seragam dinas, diterima masuk). Kalo toh bener kamar penuh, beliau bisa dengan senyum dan mengatakan dengan bahasa yang tidak menggores hatiku. Tapi nasi telah menjadi bubur. Bagaimana aku bisa menjadikan  bubur itu enak untuk aku nikmati itulah yang coba aku lakukan. Agar aku nyaman dan gak badmood.
Kata Allah, jauhilah prasangka karena sebagian prasangka itu dosa. Berarti preasangka ada dua bagian, bisa baik bisa buruk. Tentunya yang harus dijauhi adalah prasangka buruk ini.  Gimana gak dosa jika karena prasangka,kita jadi menghakimi, menghukumi bahkan mendholimi orang.Tuh kan bahaya banget. Prasangka negative bisa merujuk ke fitnah dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan.Coba jika kita tidak mencoba mengusir “penyakit” ini. Hitung saja,berapa orang yang akan sakit perasaannya oleh kita. Berapa orang yang akan menangis karena ulah kita. Berapa orang yang akan dirugikan, berapa lama kita akan menanggung “sakit pikiran” jika kita tak berusaha mencari “obat”. Betapa sering kita memberi nilai seseorang hanya berdasarkan sudut pandang indra yang sempit dan waktu yang terbatas. Betapa sering kita melabeli sesuatu hanya dari tafsiran selintas.Jika aku tidak segera memutar komedi prasangka, bisa saja aku melabeli bahwa RS tempa dokter itu mempunyai pelayanan yang buruk. Padahal dokter yang lainya tidak seperti itu.

Aku menyadari, betapa ilustrasi diatas sangat dekat dengan keseharian kita. Prasangka yang bermain dalam pikiran kita sering menjadi masalah jika mengarah pada hal hal yang negative. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan interaksi, ini bisa jadi bumerang bagi diri sendiri mulai dari hilangnya kedekatan dengan teman, hilangnya peluang dan kesempatan, membuat suatu komunitas menjadi kurang harmonis atau mungkin hal lainya yang sangat penting. Prasangka hidup di alam pikiran kita. Kitalah yang seharusnya menjadi “bos”untuk pikiran kita sendiri. Nah pertanyaannya..Sudahkah kita berusaha menjadi bos untuk pikiran kita ?