Senin, 16 Juli 2012

Program Madrasah Sebagai Sarana Pengembangan Diri



Ulangan kenaikan kelas telah usai. Hasil Ujianpun telah diumumkan. Pendidik disibukkan rutinitas tahunan untuk mengolah data sampai pembagian laporan hasil belajar siswa kepada masing masing wali murid. Seyogyanya hasil evaluasi ini bukan hanya untuk peserta didik semata, akan tetapi untuk evaluasi lembaga terlebih untuk kita sebagai pendidik. Salah satunya bagaimana untuk menyiapkan kegiatan  belajar mengajar yang lebih baik lagi pada tahun ajaran baru nanti. Setelah pembagian buku rapor, adalah ajang refleksi yang efektif untuk lembaga beserta seluruh komponennya. Bagaimana  madrasah membuat, merevisi dan mengemas semua program agar mudah untuk “dijual” ke masyarakat luas. Ini sangat penting sebagai langkah untuk menjaring peserta didik baru pada tahun ajaran yang akan datang.

Perubahan yang terjadi disemua aspek kehidupan tak terkecuali dalam dunia pendidikan, membuat kita sebagai insan yang berada di lembaga pendidikan dituntut untuk mengikutinya. Persaingan dalam dunia pendidikan menuntut kita untuk berfikir kreatif guna menjadikan madrasah kita menjadi lembaga yang menjadi pilihan di masyarakat. Upaya itu dikemas melalui program program madrasah yang akan dilaksanakan oleh masyarakat madrasah (peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan) nantinya. Akan tetapi sebagai seorang pendidik kadang program program tersebut menjadi sebuah beban berat. Alih alih hanya memikirkan bahwa program madrasah hanya sebagai beban, kita dapat menjadikan program tersebut menjadi landasan dan alasan kita untuk mengembangkan diri.

Banyak sekali program yang dibuat sebagai “pembeda” antara madrasah kami dengan lembaga lainnya. Seperti muhafadhoh. Sholat dhuha bersama, sholat dhuhur berjamaah dan kultum, serta program pembiasaan lainnya. Kultum misalnya, saya pribadi menyikapi ini sebagai sarana saya untuk belajar. Bagaimana saya menjadi semangat untuk berburu referensi bahan kultum, belajar cara penyampaiannya dan mengamati umpan balik dari interaksi tersebut. Saya merasa lebih nyaman ketika saya berfikir sedang menata diri sendiri. Tidak ada faktor menggurui karena lebih kepada pemberian motivasi bersama. Ini  bukan hanya sebagai ajang melatih mental tapi juga melatih ketrampilan berbicara agar saya lebih siap jika sewaktu waktu dibutuhkan di lingkungan masyarakat.

Berpikir positif mutlak diperlukan oleh kita dalam setiap kesempatan. Mencoba untuk melakukan yang terbaik juga perlu disematkan dalam diri. Tidak perlu malu dan mengkritik diri terlalu pedas jika kita melakukan kesalahan.”Trial and Error” dapat menjadi acuan kita untuk mencari jawaban jawaban dari situasi situasi yang kita hadapi. Bukankah hidup adalah laboratorium untuk belajar?
Nah kalau sudah seperti itu, tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu guna memperbaiki diri tuk jadi lebih baik. Selalu bersyukur akan menjadi sumber energi  kita untuk tetap terus menapakinya.

Terlepas dari itu semua, sejatinya pendidikan madrasah, khususnya pada Madrasah Ibtidaiyah yang berbasis karakter mutlak diperlukan untuk mencetak generasi tangguh yang cerdas baik  mental maupun spiritualnya. Dalam era globalisasi sekarang ini “komitmen” tersebut tidaklah semudah seperti membalik telapak tangan. Apalagi disaat nilai-nilai Pancasila yang sudah tidak mengakar lagi. Oleh karena itu butuh perjuangan dan energi yang tidak sedikit tentunya.Tapi bukan berarti kita tidak berusaha untuk terus bergerak dan mencoba menggapainya. Jadi…ayo bersama-sama kita meluruskan niat, maju terus pantang mundur dan tetap semangat !!!



Sabtu, 14 Juli 2012

Ubah Kesempatan Menjadi Tantangan



        Pada hari pertamaku menjalankan tugas sebagai pengawas ruang ujian tahun ajaran 2011/2012 di SDN Semaya. Pukul 06.00 aku berangkat, aku tinggalkan anakku ( yang saat itu sedang sarapan dan menjadi peserta ujian juga tahun ini). Dengan iringan doa semoga dia dimudahkan segala urusan oleh-Nya.Yah, nelangsa juga ketika dia bilang”dah ibu berangkat aja biar aku jalan kaki nanti” Ya Allah aku sadar kalau aku pergi disaat anakku butuh dukunganku. Tapi inilah tugas, untungnya sudah disiapkan jauh hari, dan alhamdulillah anakku pengertian sekali,
     Setelah kutata hatiku kupasrahkan juga semua kepada Sang Maha Pemelihara dan  itu membuatku nyaman dan optimis. Aku ambil rute memutar, jalur Kedungbanteng ke atas, hujan kemarin pasti membuat jalan Sokaciri tambah sulit untuk dilalui sekalian untuk menghafalkan rute (kan baru sekali ) dan ternyata sampai di atas hanya perlu waktu 45 menit. Paling gasik malah baru ada pak penjaganya saja. Eh ternyata bukan orang lain, masih saudara. Setengah jam kemudian semua guru berdatangan, berta’aruf eh bukan orang asing ternyata pak Tio dari SDN Cibun, istrinya masih saudara. Biasa ketemu kalau lebaran. Bu Sasti sesama pengawas dari SDN Cibun gadis asal Purbalingga kos di Karangjambu, PNS baru. Ada pak Sumarso, kepala SDN Semaya, ada pak Hendra, Pak Kirtam, semuanya ramah dan baik.
     Pulangnya aku lewat Sokaciri, aku parkir motor di dekat jembatan lalu aku turun, untuk cuci muka (segerrrr). Dinginnya air logawa dan bagusnya pemandangan Sokaciri telah berhasil menahanku . Kududuk di atas batu, memandang semua yang dapat aku pandang. Ada anak-anak lagi mandi (riang sekali mereka) ada orang-orang muat batu pake kendaraan, ada juga pasangan bau kencur yang coba-coba romantisan di pinggir kali (ha ha kaya sapa hayoo). Tak terasa 30 menit aku tengok kanan tengok kiri sampai akhirnya memutuskan pulang.
     Hari kedua aku sengaja berangkat gasik lalu berhenti di cerukan yang luas dan sangat indah tentunya. Apalagi cuaca pagi itu sangat cerah dengan sinar matahari yang baru muncul, subhanallah cantik banget,Yah 15 menit cukup dulu lah tuk menikmati panorama dan mengisi penuh paru-paruku dengan oksigen yang bersih itu. Nah sekitar pukul 09.00 (masih ngawasi) terdengar ada berita duka.Waktu aku cerita dengan pihak sekolah katanya ada warga meninggal karena jatuh ketika lagi  naik ojek di tanjakan(sebelah atas waterboom). Aku anggap ini peringatan agar aku lebih hati-hati lagi. Tiba hari terakhir ada niat untuk jalan-jalan ke Cibun katanya bagus (ada jembatan gantung). Setelah selesai ritual pamitan, aku mampir dulu ke rumah warga, keasikan ngobrol sampai lupa kalau dah janjian sama pak Alip ke Cibun (tak bel malah dah di rumah) ya udah akhirnya tanya tanya sampai juga ke daerah Cibun. Sampai jembatan gantung aku sedikit bergeming (eh panjang juga, sekitar 50 meter kurang dikit kali). Aku pikir bu Sasti tiap hari lewat sini kenapa aku ragu? Bismilah aku lewat dengan cepat biar gak goyang-goyang, tanggung aku naik sekalian (penasaran kayak apa SDN Cibun)
      Sampai ke perkampungan ketemu pak Wartun dan istri, penjaga SDN Semaya. Bertamu , ngobrol ngetan ngulon ngalor ngidul, lalu bersedia mengantar ke sekolah, eeet Cuma 4 ruang kelas? tapi subhanallah…..bersih dan rapi banget. Tidak ada sampah, lantai kinclong kaya rumah sakit. Benar-benar terawat  dengan baik (jan salut ke penjagannya), 4 ruang… gimana belajarnya? satu ruang untuk kantor, satu ruang khusus kelas enam, 2 ruang lainnya disekat sekat (satu untuk kelas 1,2,3 dan satunya lagi untuk kelas 4 dan 5) untuk PBM jelas gak nyaman yah…..tapi mau bagaimana lagi wong adanya seperti itu. Memang muridnya gak banyak, semua ada 37 . Kalau dirata-rata 6 siswa tiap kelas. Jadi ingat dengan madrasah sendiri. Bersyukur ada di  MIMA NU 02 Babakan dengan fasilitas yang memadai, program madrasah yang bagus, murid yang banyak, pendidik yang muda-muda. Kalau semua diberdayakan dengan optimal pasti hasilnya jauh lebih baik.
  Ada sebuah bayangan yang aku pikirkan. Dapatkah MI ku menjadi MI yang diminati masyarakat? Bagaimana caranya agar itu terjadi? Langkah langkah apa yang sebaiknya diambil? Apa yang dinginkan seorang wali siswa sebenarnya? Bukankah aku juga seorang wali siswa? Apakah yang aku inginkan sama dengan yang mereka pikirkan? Sambil merenungkan hal ini aku turun karena tanpa terasa matahari sudah condong ke barat. Anak anak juga sudah menungguku. Apapun itu kesempatanku untuk menjadi pengawas ruang di SDN Semaya telah aku ubah menjadi sebuah tantangan.Ternyata mengubah  kesempatan menjadi sebuah tantangan merupakan hal yang menyenangkan dan yang paling penting membutuhkan ke-be-ra-ni-an……… gak percaya? coba saja.


Tapak Bumi Semaya


                                                           


Berawal dari beberapa hari yang lalu, ada banyak pertanyaan yang saya sendiri bingung, mau saya tanyakan ke siapa....karena sekomplit apapun jawaban yang diberikan pasti akan menambah panjang daftar pertanyaan. Pada saat mendengar sebuah pemberitahuan tentang tugas yang harus saya emban selama tiga hari untuk menjadi pengawas UAS- BN. Masih cukup lama memang, karena ujian akan dilaksanakan pada tanggal 7-9 Mei nanti.

 
Sebenarnya menjadi pengawas ruang bukan hal baru, sudah berkali-kali saya jalankan. Tidak akan saya pikir jika saya tahu tempat dan mudah menjangkaunya. Yang membuat kaget adalah ketika bos saya bilang "SD SEMAYA". Saya sadar ini masuk kategori "luar biasa", karena saya "Ibu guru" dan untuk mencapai Semaya diperlukan usaha yang tidak mudah tentunya (jauhnya perjalanan dan medannya yang sulit). Banyak bom pertanyaan di pikiran kala itu. Kenapa harus di Semaya? bagaimana saya bisa dapat Semaya?dan lebih penting lagi ternyata SK sudah terbit dan jalan satu-satunya saya harus bisa menjalankan tugas itu. Sebagai langkah awal saya kumpulkan sebanyak-banyaknya tentang Semaya. Hmmm Semaya....sebenarnya masih wilayah desa Sunyalangu kecamatan Karanglewas, dengan Babakan berarti tetangga desa. Lalu kenapa musti heboh?

 Likethis.............
Kata teman teman" dah kamu muter lewat Kedung Banteng saja kalau mau ke Semaya. Memang jauh tapi jalannya alus itu berarti jika surat tugas pukul 07.30 saya harus berangkat pukul 06.30, lewat Sokaciri walau jarak tempuh relatif pendek tapi kamu ndak mungkin bisa lewat tanjakan labil". Hampir semua teman yang saya tanya jawabannya sama. Jadi penasaran pengin membuktikan sesukar apa jalan yang dimaksud (karena saya lebih memilih rute ini).

 Pada  Minggu pagi,”arjunaku” telfon kalau pengin tahu SDN Semaya, siap mengantar, Wow...........Surprise. Jadilah kami kaya si Bolang Petualang, kami ambil rute Babakan-Karangpucung-Sunyalangu-Sokaciri-Baseh-Semaya. Ini sebuah jalan alternatif, dekat, hanya....ada 1 km jalan yang membutuhkan konsentrasi penuh, dan harus sangat hati-hati. Bagaimana tidak,  jalan dengan batu yang labil, menanjak lagi. Setelah jembatan Sokaciri yang kata orang banyak monyet (saya sih belum pernah lihat) dengan riak sungainya yang menawan, pemandangan kanan kiri sungai yang memukau dan sebaran batu-batunya yang bisa buat mentas (gede gede soale), ketika melihat jalan tersebut saya sadar perlu kekuatan hati untuk melewatinya pikiran pertama yang muncul "gue harus coba", 50 meter pertama suami turun. Saya diberi kepercayaan penuh untuk melakukan tantangan tersebut. Alhamdulillah berhasil, masih dengan kondisi jalan "begitu"saya nekat membawa suami  naik.

Banyak yang  dilihat, ada kolam bebek-bebekan, ke atas lagi ada Batur Agung dengan area adu nyalinya dll, trus naik lagi sampai pertigaan menuju water boom suami minta ganti di depan (soalnya saya ketungkul berhenti kan gak sampai2 ke tujuan). Subhanallah ternyata masuk perkampungan Semaya baguuus banget, seperti di belahan bumi yang lain cie....aduh susah digambarkan dech, pokoknya siapapun yang ke bumi Semaya dan matanya waras pasti tidak mau cepet-cepet pulang. Lukisannya Allah benar benar tak ada bandingnya. Pohon-pohonnya, bukitnya, sawahnya, sungainya, udaranya, airnya wahhhh everithing looks so beautiful and perfect !!!!

Sampai di SD Semaya, cari orang untuk sumber informasi. Masuk ke rumah keluarga bapak Sodikun, dekat masjid kebetulan mau sholat air di masjid habis sehingga mudah saja cari alasan minta air wudhu. Horeee dapat teman (dan dapat info tentunya). After that.....pengin naik ke puncak, eh saya pikir deket mau jalan kaki tapi diingatkan bawa motor saja, ya sudah ke atas pakai motor (eh dikira sales lho hahaha)sampai mentok. Padahal kalau belok dapat pemandangan bagus(kata orang), yah buat lain kali (kan mo balik lagi, insya allah).

Ada pertanyaan menggelitik hati saya ketika sedang berada di tempat yang tinggi itu. Mengapa orang suka tempat tinggi? jawabanya karena jangkauan pandangan kita lebih luas, sehingga kita lebih banyak tahu. Asal indra kita "baik" soalnya kalau ada gangguan, walau di” tempat tinggi”sekalipun ya tidak bisa memandang apapun. So..."tempat tinggi" dapat memberi manfaat bagi kita kalau kita bukan saja menggunakan mata kepala tetapi memakai juga mata hati (bukan mata kaki lho ya).

 Nah, pulangnya lebih seru lagi. Saya merasakan banyak energi masuk dalam diri, ketika berhasil menuruni jalan yang terjal ada kepuasan tersendiri. Lebih happy dan semangat (yah dimanjakan sih) setiap ada yang pengin dilihat ya berhenti, action dulu (sebenarnya ambil panorama siiih) dari Semaya sampai Sokaciri tidak terhitung berapa kali "sekedar memandang" ciptaan Sang Maha Sempurna, banyak rasa jadinya. Senang, nikmat, kagum, terpesona dll dst.....dan setiap orang toh tentu bebas mengekspresikan segala apa yang sedang berkecamuk di hatinya. Ada yang sengaja menyembunyikan (ini bukan berarti orang lain tidak tahu lho),  ada yang terang terangan menampakkannya, dan semuanya tidak masalah sepanjang tidak merugikan baik bagi diri maupun oranglain.

 Nah kembali ke "tugas" ada hal penting yang saya dapat. Pepatah "No trouble troubels till trouble troubles you" kayaknya bagus tuh untuk dikaji. Mungkin termasuk saya, sering merasa belum apa apa sudah mengeluh, gak Pd, mengiyakan statement orang (padahal belum tentu benar), patah semangat, tidak punya cukup energi untuk mencari penyelesaian problem, kurang komitmen, kurang berpikir positif dll sehingga kita perlu pijakan untuk menata, menginstal diri untuk jadi lebih baik. Kadang kurangnya motifasi dari dalam diri membuat kita membutuhkan orang lain untuk turut mengobarkannya bukan?

Sebab  kalau mau jujur, sebenarnya ada rasa nyaman ketika dilingkupi orang-orang yang care dan membuka hati untuk kita. Kita bisa share, saling mengingatkan, saling menguatkan, saling berempati, saling menyemangati, saling memotifasi. Dan disadari atau tidak, hidup menjadi lebih bermakna ketika kita dapat memberikan manfaat untuk orang lain. Ada rasa nikmat yang membuncah dalam dada jika oranglain juga nyaman saat berada di dekat kita.

Kenyamanan ini juga yang sedang saya rasakan sekarang. Tidak ada rasa khawatir, ragu-ragu dan menyesal mendapatkan tugas ke Semaya. Yang ada ya pengin cepat cepat ke sana lagi, menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab dan menikmati keindahan bumi Semaya semau gue (bukan sepuasnya, karena untuk keindahan alam tidak ada puasnya), serta berinteraksi dengan warga desa. Skenario sudah mulai disusun tinggal menunggu waktu pelaksanaannya.

 Omong omong tentang bumi Semaya ada peluang bagus tuh untuk bisnis. Potensi wisatanya yang luar biasa diantaranya, panorama alaminya, batu laya yang terdapat 5 buah goa yang belum dirawat sehingga belum bisa dimasuki orang (kecuali yang bernyali tinggi) , waterboom, batur agung, kolam perahu bebek, dan potensi alam lainnya yang belum diberdayakan secara optimal termasuk kultur budayanya yang menarik dan masih original (kata orang sih masih ada tetua yang melakukan ritual sesajen pada musim tertentu) akses jalan yang sedang diusahakan (jalan wisata Baturaden, Baturagung, Cipendok), saya yakini suatu saat akan menjadi objek wisata pilihan bagi banyak orang. Bagi para investor tentunya ini menjadi lahan menggiurkan . Jika potensi alam yang dikelola dan digarap dengan optimal laris terjual maka dapat  menambah income, baik bagi warga masyarakat maupun pemerintah, yang pada akhirnya menguatkan perekonomian daerah. Bukan mengeksploitasi lho ya, tapi mengelola untuk dimanfaatkan dengan tetap menjaga keseimbangan alam bumi Semaya, dan ini dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah, BUMN, BUMS dan pelaku usaha lainnya. Berminat investasi? buruan ke bumi Semaya…

Semaya yang cantik, indah, menawan, mempesona telah merasuk dalam pikiran alam bawah sadar, tak jarang mata terpejam sekedar membayangkan keelokannya sehinga membuat saya tersadar akan “tangan” pengaturnya yang Maha Sempurna. Betapa saya merasa begitu kecil seperti debu, yang tak terlihat, tak berarti dan mudah tertiup oleh angin globalisasi. Ironis memang disaat semua raga dibuai dan dipuaskan oleh kemajuan teknologi, ternyata banyak jiwa yang meraung dan meronta mencoba melepaskan diri dari jerat alienasi tuk menggapai sebuah  kebebasan. Lalu apa makna kebebasan sebenarnya? tentu saja sebuah kata “kebebasan”dengan 10 orang yang menafsirkannya bisa saja berbeda tergantung sudut pandang mereka. Kalau menurut saya kebebasan adalah suatu perjalanan menuju kedewasaan yang didampingi oleh “patner” bernama tanggungjawab. Dan bagi saya perjalanan ini jauh lebih menyenangkan dan tak terlupakan, dibandingkan saat menikmati hasilnya. Bagaimana dengan anda?